Bisnis.com, JAKARTA -- Surat kabar dan stasiun TV memuji kemenangan Piala Dunia Prancis pada Senin, sementara pekerja kebersihan bekerja keras setelah pesta malam yang gila di Paris menjelang pawai kemenangan sampai ke Champs Elysees.
"Hari Kemenangan Kita Ada di Sini", kata Le Figaro, merujuk isi bait lagu kebangsaan Marseillaise.
"Sejarah Dibuat" harian olahraga L'Equipe menyebut, sementara jurnal bisnis Les Echos menuliskan "Champions of the World" dengan lebih lugas. Foto-foto superstar Kylian Mbappe, Antoine Griezmann dan Paul Pogba, serta foto-foto tim lainnya yang memegang tinggi-tinggi dan mencium trofi, mendominasi liputan.
Kemenangan itu telah menciptakan rasa persatuan nasional, dengan para komentator mengumbar fakta bahwa skuat, termuda kedua dalam kompetisi, termasuk banyak pemain yang nyaris keseluruhan berketurunan Afrika tengah dan utara, kecuali dua pemain saja yang lahir di Prancis.
Ketika negara itu memenangkan Piala Dunia pertamanya pada tahun 1998, saat Zinedine Zidane menjadi andalan dan playmaker-nya, tim ini disebut sebagai "Black-Blanc-Beur" (Hitam-Putih-Arab), referensi positif untuk keberagaman etnisnya.
Tetapi beberapa pihak ingin mendorong frasa itu ke satu sisi saja, melihat di dalamnya ada rasa keterpisahan bahkan jika itu dimaksudkan secara positif.
"Kami tidak pada tahun 1998," kata Mounir Mahjoubi, sekretaris negara untuk urusan digital, yang orang tuanya beremigrasi dari Maroko.
"Kami tidak merayakan 'Black-Blanc-Beur', kami merayakan persaudaraan," katanya tentang tim saat ini.
Video-video yang diambil para pemain di ruang ganti yang penuh hingar bingar setelah kemenangan menunjukkan mereka bernyanyi, menari, dan bersulang bersama, sambil mengerumuni Presiden Emmanuel Macron yang nyaris tidak bisa menahan kegembiraannya.
Untuk Macron, yang menjadi presiden tahun lalu pada usia 39 tahun dengan membawa gerakan politiknya menuju kemenangan melawan rintangan, keberhasilan tim sepak bola itu kemungkinan akan memiliki dampak positif setelah kemerosotan popularitasnya dalam jajak pendapat.
Sistem metro Paris pun memasuki suasana perayaan. Mereka mengumumkan nama sejumlah stasiun yang diubah secara singkat untuk menghormati para pemain dan pelatih, Didier Deschamps.
Stasiun Notre-Dame des Champs diberi label ulang "Notre Didier Deschamps", dan Victor Hugo dialihkan ke "Victor Hugo Lloris" selaku kapten tim dan penjaga gawang.
Champs Elysees seluas 2 km persegi, Arc de Triomphe dan Place de la Concorde yang juga luas berubah menjadi lautan manusia pada Minggu malam. Mereka melambaikan bendera merah, putih dan biru, menyalakan petasan dan meniup peluit sampai pagi.
Pada Senin, efek-efeknya masih terlihat. Sejumlah jendela pecah, mobil terbalik dan grafiti tertulis di sana-sini, termasuk frasa "Liberte, Egalite, Mbappe", referensi untuk semboyan nasional "Liberte, Egalite, Fraternite".
Di jagat twitter, legenda Brazil Pele memberi penghormatan pada Mbappe, pemain menonjol Prancis dan superstar berusia 19 tahun, dengan mengatakan bahwa jika pemain remaja itu tetap menyamai rekor golnya, Pele mungkin harus kembali mengikatkan sepatunya.
Mbappe membalas tweet dalam bahasa Inggris yang mengatakan "Raja akan selalu menjadi raja" dan dengan cepat mendapatkan 15.000 retweet.
Tim dijadwalkan tiba kembali di Prancis pada 1400 GMT, dengan banyak orang berkumpul di bandara Charles de Gaulle untuk menyambut mereka. Sebuah parade menuju Champs Elysees dijadwalkan pada 1530 GMT, dan akan ada resepsi kemenangan resmi bersama Macron di Istana Elysee pada 1630 GMT.
Bukan hanya di Paris bahwa negara telah diambil alih demam sepak bola. Dari selatan Nice dan Marseille ke Lille di utara, Nantes di barat dan sejumlah kota dan kota lain di antaranya, stasiun TV penuh dengan gambar penggemar berpakaian merah, putih dan biru bernyanyi di jalan dan alun-alun, demikian Reuters.